Krisis Agraria dan Bencana Ekologis di Pegunungan Latimojong: Tragedi Bencana Penyangga Kehidupan Sulsel
bukabaca.id, Makassar – Pekan pertama Mei 2024, banjir dan longsor menerjang beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan yaitu di Kabupaten Luwu, Wajo, Sidrap, Soppeng, Enrekang, Pinrang, Toraja dan Bulukumba. Banjir dan longsor terjadi pada hari yang bersamaan di kabupaten Luwu, Sidrap, Wajo, Enrekang dan Pinrang akibat kerusakan hutan yang terjadi di area gunung Latimojong.
Kerusakan hutan yang terjadi di area gunung latimojong berawal dari lahirnya konsesi-konsesi tambang termasuk di area gunung Latimojong. Dalam kondisi krisis dan kritis, Pemerintah Pusat hingga Provinsi Sulawesi Selatan terus mengoleksi dan mengeluarkan konsesi-konsesi pengelolaan hutan di wilayah-wilayah penyangga termasuk Pegunungan Latimojong.
“Berkurangnya tutupan hutan di bentang pegunungan Latimojong akibat aktivitas tambang tidak lepas dari keterlibatan pemerintah daerah. Sebagian besar dari kita kemungkinan masih mengingat peristiwa tahun 2015 saat ditangkapnya Kepala Dinas Kehutanan Luwu dan mantan kepala desa Mappetajang kecamatan Bassesangtempe (Bastem) yang terlibat kasus pemberian izin dan pembalakan hutan lindung tahun 2013,” ucap Rizki Angriani Arimbi, Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulsel.
Kabupaten Luwu, Sidrap, Wajo, Enrekang dan Pinrang memiliki bentangan penyangga yang sama yaitu Pegunungan Latimojong yang merupakan gugusan pegunungan Verbeek dengan berbagai keunikan di dalamnya.
Longsor dan banjir yang terjadi di kabupaten-kabupaten dalam bentangan pegunungan Verbeek Latimojong bukanlah hal yang baru terjadi. Begitu juga di Kabupaten Luwu. Meskipun tragedi di awal Mei 2024 menjadi salah satu bencana yang terbesar dan memilukan.
Jika dilihat data yang dirilis BPS 2024 terjadi peningkatan jumlah bencana banjir dimana tahun 2021 ada 51 kejadian dan tahun 2022 menjadi 66 kejadian. Kecamatan Larompong adalah daerah yang paling sering mengalami peristiwa ini. Bahkan dari data BPBD, kecamatan ini mengalami banjir dan longsor sebanyak dua kali di tahun 2023. Begitupun bencana longsor tahun 2021, terdapat 30 kejadian dan tahun 2022 ada 32 kejadian dan kecamatan Latimojong tercatat sebagai daerah yang frekuensi kejadian longsor paling sering yaitu 10 kali.
Bentang Verbeek Latimojong telah ditetapkan sebagai kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan yang berada di bawahannya yang tercantum di dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Selatan No. 3 Tahun 2022 dan Peta InaRisk BNPB menetapkan bentang Pegunungan Latimojong merupakan wilayah rawan bencana banjir dan longsor tingkat sedang hingga tinggi.
Namun, alih alih membuat rencana mitigasi bencana pada area tersebut, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Luwu dan beberapa kabupaten lainnya justru membuka konsesi tambang dan gagal mencegah alih fungsi lahan secara besar-besaran.
Abainya pemerintah dalam melaksanakan kewajiban tersebut, berdampak pada banjir yang semakin meluas. Tren peningkatan banjir terjadi 4 tahun terakhir di 6 Kabupaten Sulsel. Tahun 2024 ini banjir dan longsor menyebabkan lebih 11.500 Kepala Keluarga. Parahnya, dari angka tersebut ada 27 orang tewas, 1 diantaranya adalah balita.
“Pemerintah seharusnya tidak membuka konsesi-konsesi pada area hutan yang menjadi kawasan penyangga air yang apabila mengalami kerusakan akan berdampak buruk terhadap lingkungan Abainya pemerintah dalam memitigasi bencana ini berdampak pada banjir dan longsor yang semakin tahun semakin parah, setiap musim penghujan, banjir dan longsor sebenarnya sudah sering terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Situasi ini tidak dijadikan pembelajaran oleh pemerintah untuk menjalankan kewajibannya dalam rangka melakukan pengurangan resiko bencana, salah satunya dengan berupaya memulihkan fungsi lingkungan di pegunungan latimojong,” ujar Muhammad Haedir, Direktur LBH Makassar.
Banjir dan longsor yang terjadi pada 6 Kabupaten di Sulsel menyebabkan ribuan hektar lahan pertanian milik warga tergenang banjir dan gagal panen. Berdasarkan data dari Bank Indonesia tahun 2023, sektor pertanian mendominasi pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan berkisar 5,2 persen. Daerah yang berada di sekitar pegunungan Latimojong merupakan area dengan tanah yang produktif.
Jika kejadian banjir dan longsor terus terjadi, maka hal tersebut dapat mengancam lumbung pangan nasional. Sulsel merupakan lumbung pangan nasional, kejadian banjir ini akan mengancam ketahanan pangan nasional.
Pegunungan Latimojong merupakan gunung tertinggi di Pulau Sulawesi dengan tujuh puncak yang dimilikinya. Potensi petaka bencana banjir dan longsor bersumber dari kerusakan ekologis yang disebabkan penggunaan bentang pegunungan sebagai atap dan tiang penyangga serta hulu bagi tak kurang dari lima kabupaten di Sulawesi Selatan berada dalam kondisi yang memprihatinkan.
Direktur Wallacea, Hamsaludin, mengatakan bahwa situasi korban bencana ekologis sangat miris. Pasca bencana, pemerintah tidak sigap dan lambat menyediakan lokasi pengungsian untuk para korban bencana. Warga dari Kecamatan Latimojong bahkan meninggalkan desanya karena ketakutan adanya longsor susulan dan terancam terisolir.
Selain itu, Ia mengatakan bahwa proses evakuasi korban sangat lambat. Berdasarkan hasil pemantauan Wallacea, banyak warga yang harus mengevakuasi dirinya sendiri dengan berjalan kaki puluhan kilometer tidak terkecuali anak-anak dan perempuan. Hal ini mereka lakukan karena tidak adanya tanda-tanda evakuasi melalui jalur darat, sedangkan evakuasi menggunakan helikopter sangat terbatas dan hanya berlangsung beberapa hari saja.
Bencana ekologis di Indonesia dan khususnya di Sulawesi Selatan terus berulang dan terlihat seperti peristiwa biasa yang hanya menjadi perhatian saat tanggap darurat kemudian dilupakan setelahnya. Kembali menjadi peristiwa dan tragedi saat bencana terjadi lagi. Tak ada upaya mengevaluasi situasi dari bencana ekologis apalagi melahirkan sebuah bentuk mitigasi yang terstruktur dan sistematis. Justru yang terjadi sebaliknya, berbagai kebijakan yang disebut sebagai pembangunan yang melahirkan mimpi buruk di masa lalu, saat ini dan masa depan yang tak berkesudahan.
Besar dan luasnya pemberian lokasi untuk izin-izin investasi semakin memperparah ketimpangan penguasaan agraria khususnya petani-petani miskin dan gurem. Kekayaan yang dimiliki negara hanya dimiliki dan dinikmati oleh segelintir orang. Sementara Hasil Sensus Pertanian 2023 Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RUTP) gurem atau yang bertani di pekarangan rumah di Indonesia meningkat selama 10 tahun terakhir.
Jumlah petani gurem pada 2023 mencapai 16,89 juta rumah tangga. Angkanya naik 18,54% dari 2013 yang terdapat 14,25 juta petani gurem. Sedangkan persentase petani gurem di Sulawesi paling tinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu sebesar 41,23 persen dari 338.108 rumah tangga tahun 2013 menjadi 426.272 rumah tangga petani atau naik 20,62 persen.
Jika dilihat dari angka-angka di atas dapat disimpulkan bahwa secara nasional, Provinsi hingga Kabupaten/Kota kepemilikan tanah-tanah dan garapan rakyat semakin menyempit, mengecil bahkan menghilang. Hal ini tentu berkaitan dengan kebijakan struktural yang dikeluarkan oleh negara dan pemerintah dari setiap periode pemerintahan
Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Sulsel mengakui pembukaan lahan cukup mengancam. Pada sektor persawahan misalnya, areal sawah sekitar 600.000 hektar, sedangkan laju alih fungsi lahan sekitar 6 persen tiap tahunnya. Negara juga tidak sadar betul bahwa hal tersebut dapat mengancam kondisi ekologis dan memperparah dampak perubahan iklim. Alih alih membicarakan persoalan iklim dan menjaga hutan sebagai ekosistem yang alami, negara justru membuka lahan baru untuk membuka area perkebunan pisang yang luasnya mencapai 500.000 hektar.
Masalah agraria dan lingkungan menjadi isu yang semakin memprihatinkan, seiring dorongan hasrat untuk mengejar pertumbuhan ekonomi menempatkan Indonesia dalam titik nadir krisis agraria dan sumber daya alam.
Beberapa daerah di Indonesia menghadapi permasalahan terkait perkebunan sawit, pertambangan, dan industri lainnya yang menindas kehidupan masyarakat adat, petani, nelayan, miskin kota dan perempuan. Indonesia saat ini tengah mengalami 5 (lima) pokok krisis agraria, di antaranya: (1) Ketimpangan struktur agraria yang tajam; (2) Maraknya konflik agraria struktural; (3) Kerusakan ekologis yang meluas; (4) Laju alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian; (5) Kemiskinan akibat struktur agraria yang menindas.
Kebijakan agraria yang semakin liberal tidak hanya berdampak pada akumulasi konflik serta kerusakan lingkungan yang masif. Bencana ekologis terjadi dimana-mana sebab konsesi dikeluarkan sedemikian rupa, diobral tanpa pertimbangan untuk keselamatan rakyat lagi. Eksplorasi tambang di darat, pesisir, dan di laut yang tidak terkendali, kehadiran perkebunan skala besar, Hutan Tanaman Industri dan atas nama kepentingan pembangunan menyebabkan rakyat tergusur. Lingkungan dan sumber kehidupan tergerus hingga terus menimbulkan korban jiwa.
Bencana ekologis banjir dan longsor telah menimbulkan kerusakan yang sangat besar. Kehilangan nyawa keluarga orang-orang terkasih, kerusakan infrastruktur publik, sarana pendidikan, fasilitas umum, lahan perkebunan dan pertanian sebagai sumber penghidupan dan kerusakan lingkungan serta ekosistemnya akan mengubah tatanan sosial, ekonomi, budaya dan spiritualitas masyarakat.
Peristiwa ini membuat segala aktivitas dan kehidupan rutin berubah. Aktivitas perekonomian, pendidikan, kesehatan semuanya lumpuh. Petani, nelayan, ASN tak lagi bekerja. Perempuan, anak dan kelompok rentan lainnya termasuk disabilitas akan semakin berada dalam situasi yang merentankan.
Korban-korban dievakuasi ke tempat yang aman dan pengungsian Anak-anak tak lagi bermain dan aktivitas sekolah para siswa terkonsentrasi di lokasi pengungsian bahkan beberapa diantaranya harus berhenti bersekolah. Banjir dan longsor yang terus berulang akan berdampak signifikan pada berbagai sektor, pada sektor pertanian sebagai sumber pangan juga mempengaruhi keadaan ekonomi. Bahkan pada sektor pendidikan yang akan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia.
Pemerintah serta para relawan di lapangan diharapkan tidak melupakan kebutuhan kelompok rentan seperti kebutuhan bayi, balita, perempuan, perempuan hamil, perempuan lanjut usia dan disabilitas. Kebutuhan dasar seperti air bersih, makanan bergizi, pelayanan kesehatan, pakaian, pembalut, popok bayi balita, lansia di tempat-tempat pengungsian.
Berdasarkan situasi ini, Koalisi Masyarakat Sipil Sulsel Untuk Keadilan Agraria dan Sumber Daya Alam menuntut kepada:
- Kementerian Lingkungan Hidup untuk mengevaluasi konsesi-konsesi yang berada di kawasan hutan yang cacat hukum dan tidak sesuai peruntukan terutama bentangan Pegunungan Latimojong merupakan zona merah rawan bencana.
- Pemerintah Negara Republik Indonesia Wajib Mengoreksi ketimpangan penguasaan lahan yang terjadi di kabupaten Luwu yang menyebabkan kemiskinan bagi kaum tani gurem oleh kelompok-kelompok elite, pemodal, tuan-tuan tanah, kaum feodal yang menguasai tanah-tanah lahan pertanian/perkebunan di Luwu khususnya di wilayah penyangga dan perlindungan zona rawan bencana;
- Pemerintah Republik Indonesia agar bertanggung jawab melakukan pemulihan kepada masyarakat korban bencana ekologis di bentang Pegunungan Latimojong yang mengakibatkan Banjir dan Tanah Longsor di Sulawesi Selatan dengan memperhatikan penanganan khusus kepada kelompok rentan (perempuan, anak, disabilitas dan lansia)
- Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya sebagai perwakilan pemerintah pusat di Daerah bertanggung jawab mengganti kerugian baik materil maupun inmateril yang dialami warga akibat bencana ekologis yang menjerat masyarakat.
- Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan untuk melakukan penyelidikan terkait dugaan pelanggaran pidana lingkungan terhadap berbagai aktivitas pembukaan hutan terutama oleh perusahaan dan industri skala besar di bentang Pegunungan Latimojong yang telah berdampak pada berkurangnya daya dukung ekologis pegunungan latimojong hingga berdampak banjir dan tanah longsor yang menimbulkan korban jiwa dan harta benda. (rls)