Apakah Politik Aliran di Indonesia Berakhir?
bukabaca.id, Makassar – Politik aliran memang tidak bisa lepas dari pengalaman masa lampau. Jika berbicara tentang politik aliran, kita tidak boleh melupakan nama besar Cliffrod Geertz. Seorang Antropolog berkebangsaan Amerika Serikat yang telah berjasa besar dalam mempopulerkan politik aliran.
Istilah politik aliran digunakan untuk menggambarkan struktur sosial dan politik desa di daerah etnis Jawa pada awal kemerdekaan. Geertz mengelompokkan cara pandang dunia orang Jawa dalam tiga kategori yaitu, kelas menengah agamis (santri), petani dan rakyat jelata (abangan), dan birokrataristokrat (priyai). Ketiga pengelompokan tersebut berpengaruh dalam membaca politik aliran di Indonesia.
Beberapa kalangan menyebutkan bahwa politik aliran kehilangan signifikansinya pasca Soeharto. Alasannya adalah melalui golongan karya, kelompok santri di kalangan Islam telah menemukan persemaiannya di Golkar lewat fasilitas dan pendidikan di paruh akhir kekuasaan Soeharto.
Santrinisasi kalangan Islam terjadi melalui media pendidikan dan membuat partai Islam menjadi kehilangan daya tarik, dan terbukti partai Islam kalah di pemilihan umum pada tahun 1999 dan 2004.
Perdebatan mengenai partai politik aliran menghiasi dinamika politik Indonesia tahun 1950-an dan kemudian marak kembali pada masa pos-Soeharto. Perdebatan mengenai politik aliran pada 1950-an dengan masa 1990-an akhir memiliki dimensi yang sangat berbeda baik di tingkat fenomena maupun tingkat aplikasi teoritis dan aplikasi pendekatan ilmuannya. Fenomena politik di tanuh 1999 dengan munculnya PKB yang berbasis massa NU, PAN yang berbasis Muhammadiyah, PDI Perjuangan yang berbasis nasionalis, Golkar yang ditengarai sebagai kelompok partai yang berbasis priyai, dan sebagainya banyak diasumsikan munculnya kembali era 1950-an. Namun, fenomena politik aliran 1999 tampaknya berbasis ikatan primordial tersebut diasumsikan sebagai era kemerosotan partai politik aliran di panggung politik.
Gejala memudarnya politik aliran mesti dijadikan referensi bagi partai politik berbasis Islam untuk melakukan pembenahan dengan menjual isu non agama agar terjadi peningkatan suara pada pemilu mendatang. Partai Islam harus keluar dari captive market dengan menambah konstituen baru yang selama ini bernaung di parpol nasionalis pemilih Muslim semakin harus mengeksplorasi dan menawarkan mengandalkan retorika yang menguatkan sentimen keagamaan. Alasannya, partai Islam dewasa ini dicitrakan kalah dalam mengusung program untuk kepentingan rakyat.
Berdasarkan hasil pemilu 2009, hanya empat partai Islam yang lolos parliamentary threshold, yakni PKB, PPP, PKS, dan PAN, dengan total suara kurang dari 25%. Dari sisi kedekatan dan afiliasi dengan ormas Islam, pemilih Nahdatul Ulama sebagain besar justru memilih Partai Demokrat, PDIP, dan Golkar. Muhammadyah pun, mendistribusikan ke Partai Demokrat, PAN, dan PKS. Ini menunjukkan partai Islam gagal memperlihatkan dominasi di kalangan ormas Islam.
Pada dasarnya politik aliran di Indonesia dasar-dasar pembagiannya dilakukan Herberg Feith dalam bukunya The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Jadi ada yang Barat, nasionalis, komunis dan Islam. Tetapi Islam juga terbagi dalam yang modernis dan tradisionalis. Pada masa lalu, tepatnya pada tahun 1955, politik aliran ini memang riil dan kuat sekali melalui partai-partai yang ada. Empat partai pemenang pemilu jelas merepresentasikan aliran ini. Akan tetapi, ketika pemilu 1999, banyak pihak menduga bahwa politik aliran ini kembali. PKB yang merepresentasikan NU, PDIP, pewaris PNI, ada PBB mewakili Masyumi, kecuali PKI. Tetapi kemudian, mungkin karena dinamika politik itu sendiri, kecenderungan ini semakin melorot.
Faktor yang mempengaruhi gejala memudarnya politik aliran ini adalah, partai-partai Islam dianggap tidak lagi merepresentasikan kepentingan pemilihnya, dan melorotnya ideologi dalam kepartaian yang ada. Dengan demikian, antara partai satu dan lainnya tidak ada bedanya lagi antara partai Islam dan non-Islam memiliki program yang sama. Sampai sekarang, kampanye yang dilakukan oleh suatu partai hanya diikuti simpatisan partai tersebut, yang mana simpatisan ini., mungkin tidak mau mendatangi kampanye partai lain karena adanya keterikatan dengan partai tersebut, meskipun keterikatannya bukan ideologis.
Seperti realita saat ini, banyak ditemukan gejala massa suatu partai yang berkumpul pada saat kampanye karena massa tersebut adalah massa bayaran. Mereka akan mengikuti kampanye partai manapun sejauh mereka mendapatkan uang dan kaus partai.
Berakhirnya politik aliran, juga bukan berarti menandakan sikap masyarakat yang lebih rasional. Jadi orientasi “ pokoknya Islam atau pokoknya nasional” dan semacamnya juga tidak ada relevansinya dengan memudarnya partai Islam. Memang logikanya seperti itu, akan tetapi dalam realitas tidak selalu seperti itu, yang terjadi dalam masyarakat adalah, pemilu yang diselenggarakan pada tahun 2009 yang lalu, pilihannya bukan pilihan rasional, apakah partai yang dipilih lebih baik atau tidak, kandidat ini lebih baik atau tidak, akan tetapi di beberapa kasus ditemukan digejala, kandidat suatu partai memberi uang atau tidak, atau apakah kandidat suatu partai memberikan uang lebih banyak atau tidak.
Lebih lagi jika dilihat banyaknya partai politik dan banyaknya calon tentu masyarakat tidak kenal dan tidak tahu kualitasnya sehingga masyarakat mencoblos yang tidak dikenal. Masyarakat lebih banyak terpengaruh siapa yang lebih banyak mendekati. Politik uang bukan rahasia lagi, masyarakat kalau uangnya lebih banyak yang dipilih. Dengan kata lain orang yang lebih banyak modalnya insya allah menang, meskipun ada orang yang tidak mengerluarkan uang, sekedar uang operasional saja.
Penulis: Ayu Trisna, Mahasiswi Prodi Sosiologi, Universitas Negeri Makassar, NIM: 1763142018, tulisan ini adalah tugas essay mata kuliah Sosiologi Politik dan Birokrasi.
Ket: Isi tulisan adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis.