IAKMI: BPOM Harus Mempunyai Regulasi Internal

waktu baca 2 menit
Ilustrasi.

bukabaca.id – Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menilai, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) harus mempunyai regulasi internal untuk mengawasi kandungan obat yang tercemar setelah diedarkan kepada masyarakat (post market).

Hal ini menanggapi maraknya kasus gangguan ginjal akut misterius (acute kidney injury/AKI) yang diduga karena intoksikasi cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).

“Tentu saja tidak bisa kita hanya menyandarkan pada WHO. Ini kan masalah kita bukan masalah global dunia. Indonesia sendiri harus memiliki regulasi internal terkait dengan standar seperti ini,” ucap Anggota Dewan Pakar IAKMI, Hermawan Saputra kepada awak media, Senin (24/10).

Ia menyampaikan hal itu menanggapi pernyataan Kepala BPOM Penny K Lukito, yang sebelumnya mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah menguji kadar EG dan DEG pada obat sirop, karena di dunia internasional belum ada standar pengujian kadar dua bahan tersebut.

“Kalau terjadi kasus luar biasa seperti ini, untuk menyatakan pada level keparahan tertentu, ya tentu jangan menunggu level dunia,” imbuh dia. Hermawan mengungkapkan, BPOM bisa memulai dari basis bukti (evidence base) atau kasus serupa di negara lain. Menurutnya, kasus keracunan obat sempat terjadi di negara lain, mulai dari Amerika Latin hingga yang teranyar di Gambia.

Hermawan bilang, Indonesia seharusnya memiliki pemantauan yang lebih baik mengingat lima obat sirop yang mengandung cemaran etilen glikol melebihi ambang batas juga berasal dari industri farmasi yang memiliki izin edar BPOM. Hal ini berbeda dengan kasus di Gambia, yakni empat obat sirop yang mengandung etilen glikol tidak memiliki izin edar dari regulator setempat.

“Negara kita harusnya jauh lebih baik. Model produksi dan industrialisasi kita juga ketat. Tetapi ketika ada proses post market, BPOM tetap memiliki kewenangan dan jalur pantauan di sini,” ucap dia.

“Kalaupun tidak ada indikator (dari internasional), tapi ini (ada) evidence (bukti kasus), ini fakta, ini kenyataan. Maka karena kita start dari evidence base, maka dari situ kita telusur menjadi evaluasi buat regulasi ke depan,” sambungnya.

Lebih lanjut Hermawan menyebut, pengawasan peredaran obat harus berlapis, baik dari internal perusahaan farmasi, maupun dari pihak eksternal seperti BPOM. Selain BPOM, pihak eksternal juga meliputi pegiat sosial obat-obatan, organisasi profesi, Yayasan Lembaga Konsumen Indoensia (YLKI), dan masyarakat pada umumnya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *