Kejati Sulsel Tahan 6 Tersangka Korupsi Mafia Tanah di Wajo

waktu baca 3 menit

BukaBaca.ID, Wajo – Tim Penyidik Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan telah menetapkan dan menahan enam tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi mafia tanah kegiatan pembayaran ganti rugi lahan proyek strategis nasional untuk pembangunan Bendungan Passellorang Kabupaten Wajo tahun 2021.

Dataran hijau

Mereka yakni, AA, ND, NR, AN, AJ dan JK ditetapkan sebagai tersangka setelah tim penyidik mengantongi dua alat bukti yang sah seperti telah diatur pada Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dan selanjutnya tim penyidik memeriksakan kesehatan kepada enam tersangka terhadap tim dokter dari Dinas Kesehatan Kota Makassar yang menyatakan bahwa mereka dalam keadaan sehat serta tidak dalam kondisi Covid.

Keenam tersangka akan ditahan selama 20 hari kedepan terhitung mulai 26 Oktober hingga 14 Nopember 2023 mendatang. Untuk tersangka AA selaku Ketua Satuan Tugas B Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Wajo berdasarkan Surat Penetapan tersangka Kepala Kejaksaan Tinggi Sulsel Nomor : 228/P.4/Fd.2/10/2023 bertanggal 26 Oktober 2023 dan ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Klas 1A Makassar sedangkan lima tersangka lainnya ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas 1A Gunung Sari Makassar.

“Alasan dilakukannya penehanan sebab dikhawatirkan dapat menghilangkan barang bukti dan alat bukti sekaitan dengan transaksi dan pembayaran tanah eks kawasan hutan,” papar Leo Simanjuntak kepada awak media melalui Kepala Seksi Penerangan Hukum, Soetarmi, SH MH di Makassar, Kamis 26 Oktober lalu.

Kasus yang menjerat AA serta menjadikannya sebagai tersangka bersama-sama dengan ND, NR, AN, AJ dan JK adalah bahwa di tahun 2015 lalu, Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang telah melaksanakan pembangunan fisik Bendungan Passeloreng di Kecamatan Gilireng Kabupaten Wajo.

Dijelaskan Soetarmi bahwa dilokasi pengadaan tanah untuk pembangunan bendungan ini terdapat lahan yang berstatus Kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT) Laparepa dan Lapantungo yang terletak diwilayah Desa Passeloreng yang memperoleh penunjukan dari pemerintah sebagai Kawasan Hutan (HPT). 

“Kemudian dilakukan proses perubahan kawasan hutan dalam rangka Review Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Sulsel untuk kepentingan Pembangunan Bendungan Passeloreng. Olehnya itu pada 28 Mei 2019 maka terbit Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI dengan Nomor : SK.362/MENLHK/SETEN/PLA.0/5/2019 mengenai perubahan kawasan hutan menjadi bukan hutan kawasan hutan seluas kurang lebih 91.337 HA, perubahan fungsi kawasan hutan seluas kurang lebih 84.032 dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas kurang lebih 1.838 HA di Propinsi Sulsel,” tandas Soetarmi.

Ditambahkan Kasi Penkum Kejati terkait adanya kawasan hutan yang dikeluarkan untuk kepentingan lahan genangan Bendungan Passeloreng maka tersangka AA memerintahkan sejumlah tenaga honorer Kantor BPN Wajo guna membuat surat pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SPORADIK) sebanyak 246 bidang tanah secara bersamaan pada 15 April 2021. Kemudian SPORADIK itu diserahkan kepada tersangka AJ sebagai Kepala Desa Passeloreng untuk diteken dan tersangka JK selaku Kades Arajang juga turut menandatangani SPORADIK untuk tanah eks kawasan di Desa Arajang. 

Diketahui, Isi SPORADIK berdasarkan informasi yang diperoleh dari tersangka ND, NR dan AN sebagai anggota Satgas B dari perwakilan masyarakat dengan isi SPORADIK dinilai tidak sesuai dengan fakta dilokasi. Karena 241 bidang tanah merupakan eks kawasan hutan yang masuk sebagai tanah negara sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai lahan atau tanah garapan maka pembayarannya telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 13.247.332.000,00 berdasarkan hasil perhitungan dari BPKP Perwakilan Sulsel.

“Itulah sebabnya keenam tersangka ini disangkakan telah melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor : 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU RI Nomor : 20 Tahun 2001 mengenai perubahan atas UU RI Nomor : 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke- 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana),” katanya.

“Sedangkan untuk subsidairnya disangkakan melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU RI Nomor : 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU RI Nomor : 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor : 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP.” kata Soetarmi melalui Siaran Persnya bernomor : PR-274/P.4.3.6/Kph.3/10/2023.

(M. Daeng Siudjung Nyulle/Humas Kejati)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *