Larangan Perayaan Valentine Walikota Makassar, LBH: Edaran Jangan Seenak Jidat
bukabaca.id, Makassar – Hari raya Santo Valentinus (Hari Cinta dan Kasih Sayang) merupakan hari besar yang dirayakan oleh banyak negara. Perayaan ini berupa bertukar kartu ucapan, hadiah bahkan berkencan. Sebuah perayaan yang seringkali terbingkai dengan euforia dianggap berlebihan.
Di negara yang mayoritas pemeluk agama Islam, beberapa pemuka agama melarang perayaan tersebut dengan alasan lebih kepada pesta hura-hura dan pergaulan bebas.
Demikian halnya di Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, perayaan tersebut juga menjadi hal yang pro kontra, perhatian besar pemerintah kota dibuktikan dengan surat edaran yang dikeluarkan Pj Walikota Makassar Dr. H. Muh. Iqbal Suhaeb, pada Senin 10 Februari tentang Larangan Valentine Day Bagi Pelajar di Kota Makassar.
Himbauan tersebut edarkan dengan alasan menjaga pelajar terhindar dari kegiatan yang bertentangan dengan norma sosial dan budaya Indonesia.
Hal ini senada yang disampaikan Ketua Pimpinan Wilayah GP Ansor Sulawesi Selatan Rusdi Idrus saat di konfirmasi pihak bukabaca.id, “Kasih sayang itu tidak harus ditanggal 14 februari , setiap hari kita harus selalu saling menyayangi, dan surat edaran Walikota tentang pelarangan perayaan itu saya kira tujuannya itu baik, apalagi jika diarahkan kepada kegiatan sosial,” tulisnya dalam pesan Whatsapp.
Namun, Rusdi Idrus mempertanyakan apakah dengan terbitnya surat edaran ini jika ada yang merayakan akan ditindak.
Lain halnya tanggapan dari pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar Rezky Pratiwi Bidang Hak Perempuan dan Anak, bahwa hal ini bisa memicu tindakan sewenang-wenang pihak sekolah ke siswanya.
“Kalau mau solusi pencegahan kekerasan seksual pada anak harus dibangun sistemnya, bukan sekedar bikin edaran,” kata Tiwi.
Perempuan yang aktif terlibat dalam penangan perempuan tersebut lebih lanjut menyebutkan bahwa sistem itu ada kebijakan internal, edukasi tenaga konselor, dan mekanisme penanganan.
“Surat edaran ini berpotensi melanggar hak kebebasan berekspresi anak, bisa interpretasikan sendiri oleh sekolah dan berdampak ke hukuman sewenang-wenang, dasar larangannya kurang jelas,” jelasnya
Begitupun yang diutarakan Lia Fauziah mahasiswi yang yang aktif menjadi pembicara di berbagai forum ilmiah, yang menyatakan valentine sebagai perayaan keagamaan.
“Perayaan keagamaan saya kembalikan ke diri masing-masing itu kepercayaan, yang jadi soalan ini normalisasi sama pihak pemerintah,” tutur Lia.
Menurutnya, jika merayakan valentine melanggar norma dan agama tidak perlu dinormalisasi.
“Tapi kalau memang selama ini terjadi hal yang tidak diinginkan misalnya terjadi kekerasan atau bahkan pemerkosaan dalam relasi pacaran mengatasnamakan hari kasih sayang (Valentine) menurutku perlu ada pencegahan atau edukasi tentang perayaan yang dimaksud,” jelas Lia. (Arman Jaya)