Mengejar Nilai atau Ilmu?
bukabaca.id – Berbicara tentang Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) atau Indeks Prestasi Semester (IPS) tentu merupakan suatu hal yang menyenangkan bagi sebagian besar mahasiswa, meskipun ada beberapa orang yang menabukan hal itu.
Ketika masih menjadi mahasiswa baru “IPK merupakan harga mati”, itu yang tertanam dalam diri mahasiswa semester pertama. Belajar secara kelompok ataupun individu sering mereka jalani demi mendapatkan grafik IP atau IPK yang bagus nantinya.
Menjelang semester berikutnya sebagian mahasiswa mulai disibukkan dengan organisasi tingkat rendah yang sedikit demi sedikit mengubah mindset-nya mengenai IP. Mereka mulai disadarkan tentang esensi dan fungsi mahasiswa sebagai pemikir kritis dan agent of change salah satunya.
Namun, terlepas dari itu tentu masih banyak mahasiswa yang belum sadar akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang mahasiswa, sebagian besar dalam pikiran mereka tertanam bahwa mendapatkan nilai A masih lebih menyenangkan daripada rapat-rapat antar pengurus dalam sebuah organisasi.
Padahal, hasil ilmu tentunya harus diaplikasikan lewat penelitian ataupun pengabdian kepada masyarakat, sebab kita hidup bukan dalam kelas-kelas teori melainkan dalam realitas masyarakat. Tujuan utama seorang penuntut ilmu memanglah menuntut ilmu, namun dengan tidak mengesampingkan esensi dan fungsi menuntut ilmu. Jangan sampai ilmu yang didapatkan hanyalah kulit-kulitnya saja karena seharusnya kita menyelam ke dalam ilmu bukan berenang di atas ilmu.
Pada dasarnya kehausan akan IPK disebabkan oleh aturan kelulusan yang dikeluarkan oleh universitas, sehingga batasan IPK kelulusan dikejar oleh mahasiswa tanpa memperhatikan proses dalam pencapaiannya. Nilai A yang menjadi patokan prestasi mahasiswa akan diraih dengan berbagai macam proses, mencontek salah satunya. Mahasiswa tidak lagi memperhatikan proses pencapaian IPK, sebab nilai A sudah menjadi kepuasan hakiki dalam dirinya.
Pada suatu kesempatan Ki Hadjar Dewantara pernah menjelaskan bahwa pendidikan terdiri atas Ngerti (memahami), Ngroso (merasakan), dan Nglakoni (melakukan). Pendidikan tak cukup sampai pada pemahaman saja, tetapi mencoba ikut “merasakan dan melakukan” merupakan bagian di dalamnya. Lalu, apakah patokan dalam menuntut ilmu hanya IPK saja? tentu tidak!
Apakah kita akan menjadi agen perubahan atau menjadi teladan nantinya? Itu tidak akan terjawab melalui patokan IP melainkan melalui proses menuntut ilmu dan hidup di masyarakat nantinya. (*)
Penulis:
Nur Sakinah Kamal
Mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM) Fakultas Matematika dan ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA)