Suku Kajang: Keunikan, Falsafah Hidup, dan Menjaga Alam Tetap ‘Lajang’

waktu baca 5 menit
Tim Hunting mahasiswa KPI UINAM 2016 saat berada di Kawasan pintu masuk Adat Ammatoa Suku Kajang Kabupaten Bulukumba, foto: Ahmadi

bukabaca.id, Bulukumba – Suku Kajang merupakan salah satu suku tertua di Indonesia bahkan di dunia. Suku dengan identitas berpakain hitam ini bermukim di Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Atau 200 km dari arah timur Kota Makassar.

Kehidupan masyarakat adat Kajang yang tertata rapi dengan aturan-aturan yang harus dipatuhi, mampu menciptakan kondisi sosial kehidupan aman dan damai karena diikat oleh hukum adat yang masih kental hingga sampai hari ini.

Hidup di daerah kawasan hutan yang rimba, membuat masyarakat adat Kajang begitu mencintai alam seperti dia merawat anaknya sendiri. Ketika berkunjung ke daerah Kajang maka hal pertama yang disuguhkan adat Ammatoa (peminpin adat suku kajang) adalah kesejukan udara yang memanjakan saluran pernapasan. Bagaimana tidak, pengunjung yang sehari-hari beraktivitas di tengah kota dengan suguhan kota yang panas, gerah dan berteman dengan polusi rasanya akan terhapuskan ketika menggunjungi kawasan adat Ammatoa.

Hidup di era modern, tak membuat goyah pendirian masyarakat adat suku Kajang untuk terus mempertahankan tradisi yang diwariskan nenek moyang mereka. Hal inilah yang membuat suku Kajang menjadi objek wisata baik lokal maupun mancanegara.

Keunikan

Masyarakat adat Kajang punya identitas tersendiri untuk mengenalnya. Warna hitam adalah ciri khas dan favorit dengan makna yang mendalam sebagai prioritas utama dalam menjalani hidup. Bagi mereka, hitam adalah warna yang melambangkan persamaan dalam segala hal. Artinya, semua manusia itu sama di hadapan Tuhan, tidak membedakan status sosial dalam masyarakat, serta hitam adalah semua warna warna dari semua warna atau tidak ada yang lebih baik dari warna hitam.

Di sisi lain, ada yang tidak kalah unik dari. Yaitu masyarakat adat tidak boleh menggunakan alas kaki saat dia berada di kawasan Ammatoa. Hal ini dianggap bertentangan dengan prinsip hidup masyarakat adat yaitu tidak boleh tersentuh barang yang berbau modernitas.

Sandal bagi masyarakat adat Kajang adalah sesuatu yang asing. Tidak bisa dibayangkan bagi teman-teman yang berkunjung ke sana tetapi tidak mau melepas sandal atau sepatu maka saat itu teman-teman dianggap melanggar dan harus menerima konsekuensinya. Konsekuensinya bisa berupa denda, disuruh keluar di kawasan secara paksa dan yang lebih ironi lagi, konon ada pengunjung yang melanggar dan tidak bisa keluar di daerah tersebut atau dia tidak tau jalan pulang. Ngeri bukan? Nah oleh sebab itu, penulis sarankan jangan memakai sandal kalau anda memasuki kawasan yang satu ini.

Selain itu, hal unik lainnya yang bisa kita temukan di suku adat Kajang adalah bentuk bangunan rumah yang menghadap kearah barat. Yang membedakan antara rumah panggung suku Kajang dengan suku bugis lainnya adalah posisinya yang menghadap ke arah barat atau membelakangi arah terbitnya matahari.

Masyarakat adat suku Kajang meyakini bahwa posisi rumah yang membelakangi arah terbitnya matahari bisa memberikan keberkahan. Dengan posisi rumah yang tertata rapi dan bentuk yang sama adalah salah satu hal yang membuat pengunjung terkesan dengan pemandangan yang tidak lazim ini.

Aturan adat yang begitu kental di daerah ini tidak terlepas dari nilai-nilai kearifan lokal masyarakat setempat yang menjunjung tinggi persamaan dan kesamaan. tidak tanggung-tanggung masalah pernikahan juga ikut dilibatkan. Masyarakat adat Kajang harus menikahi sesama orang dalam kawasan adat. Jika tidak, maka mereka harus tinggal di luar kawasan adat. Pengecualian bagi pasangan yang bersedia mengikuti segala aturan dan adat istiadat yang berlaku dalam kawasan tersebut.

Selain itu, ciri khas suku adat Kajang lainnya adalah bahasa. Dialek sehari-hari yang digunakan masyarakat setempat adalah bahasa konjo. Bahasa konjo adalah jenis bahasa Makassar yang berdialek konjo.

Kepercayaan yang dianut suku Kajang adalah agama islam. Atau dalam bahasa konjo Sallang. Mereka percaya dengan Tuhan Yang Maha Esa dan tuhan yang diyakini untuk disembah adalah “TURIE A’RA’NA” (Yang Maha Berkehendak).

Mereka juga memiliki kepercayaan unik untuk filosofi shalat yaitu “je’ne talluka sumbayang tala tappu” yang memiliki arti wudhu yang tidak pernah batal sembahyang tidak pernah putus.

Falsafah Hidup

Warna hitam sebagai identitas, suku Kajng menganggap hitam adalah warna yang sakral bagi mereka. Lebih jauh, ternyata warna hitam memiliki makna yang mendalam. Selain kebersamaan dan kesamaan dalam segala hal, hitam juga memiliki makna kesederhanaan. Hal ini tertulis dalam kitab “pasang ri kajang” (pedoman hidup orang Kajang yang diyakini sebagai pesan dari TU RIE A’RA’NA melalui Ammatoa yang dijadikan sebagai hukum adat).

Bagi masyarakat adat suku Kajang, kesederhanaan adalah sifat yang harus dimiliki oleh manusia. Tidak berlebihan dalam menjalani hidup karena kehidupan ini hanyalah tempat untuk beristirahat. Konsep hidup dalam kesederhanaan dituangkan dalam tatanan kehidupan “Tallasa kamase-mase” artinya hidup dalam kesederhanaan.

Menjaga Alam Tetap Lajang

Suku Kajang merupakan komunitas adat yang menutup diri dari sentuhan teknologi. Bagi mereka, tekhnologi hanya bisa merusak tatanan kehidupan yang selama ini dilestarikan. Hutan dengan luas 331,17 hektar menjadikan daerah suku Kajang sebagai objek eksploitasi dari perusahaan Lonsum (London Sumatera). Hal ini merupakan ancaman bagi mereka untuk mempertahankan daerah kawasan adat.

Menjunjung tinggi penghormatan terhadap alam, sampai hari ini hutan adat Ammatoa tetap lestari meski diterpa berbagai bentuk ancaman tekhnologi bahkan eksploitasi.

Merawat alam bagi mereka adalah sebuah kewajiban. Semua aturan tertuang dalam hukum adat yang disebut “pasang ri kajang”. Aturan itu berupa larangan menebang pohon tanpa memiliki izin dari pemangku adat setempat, menebang pohon dengan alat seadanya atau hanya menggunakan kapak. Menariknya lagi, para pelanggar disuguhi 3 hukuman sesuai tingkatan perbuatannya. Ketiga tingkatan itu adalah Pokok Ba’bala (pangkal pemukul), Tangga ba’bala (tengah pemukul), dan Cappa Ba’bala (ujung pemukul).

Amat menarik untuk dikunjungi bukan?

Jadi, kapan mau ke Kajang? (Dito)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *