Ternyata… Ini Penjelasan Lengkap Penyebab Tagihan Listrik Bengkak Selama Pandemi Covid-19
bukabaca.id – Tidak semua tagihan listrik berdasarkan perhitungan meteran pelanggan. PT PLN (Persero) mengakui hal itu sebagai perubahan perhitungan tagihan listrik selama pandemi virus Corona (Covid-19).
“Ada fakta memang terjadi banyak kenaikan, didasarkan benar bahwa di tengah penerapan protokol COVID-19, ada perubahan mekanisme sedikit modifikasi,” kata Executive Vice President Corporate Communication & CSR PLN, I Made Suprateka melalui telekonferensi, Rabu (6/5/2020).
Pada kesempatan itu, Executive Vice President (EVP) Quality Assurance Produk dan Layanan, Hikmat Dradjat menjelaskan selama ada Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pihaknya melakukan pencatatan konsumsi listrik hanya berdasarkan rata-rata.
“Artinya tidak dicatat oleh petugas meter, tidak juga pelanggan mengirim stand meter. Maka kami lakukan pencatatan secara rata-rata,” ucapnya.
Cara lainnya, pelanggan mengirim stand meternya melalui online. Cara ini sedang didorong PLN untuk pembayaran tagihan listrik di bulan Mei.
Perhitungan menggunakan metode ini masih sangat sedikit yakni di bawah 1% pelanggan yang inisiatif mengirim.
Sedangkan pencatatan meteran secara langsung yang biasanya dilakukan oleh petugas PLN secara door to door, saat ini dibatasi.
“Ada yang masih menerapkan, ada yang sudah tidak menerapkan. Jadi tetap ada metode pencatatan manual oleh petugas meter. Di atas 50% masih menggunakan catat manual,” imbuhnya.
PLN memberikan ilustrasi bagaimana perhitungan tarif listrik di bulan April sehingga terjadi pembengkakan.
Executive Vice President Corporate Communication & CSR PLN, I Made Suprateka menjelaskan penerapan Work From Home (WFH) dilakukan sejak dua minggu terakhir di bulan Maret. Di situ menurutnya mulai terjadi lonjakan konsumsi listrik rumah tangga tanpa disadari.
Namun, tagihan listrik di bulan Maret hanya dihitung PLN berdasarkan rata-rata pemakaian listrik selama tiga bulan terakhir, kelebihan konsumsinya belum ikut dihitung.
Misal, rata-rata penggunaan listrik di bulan Desember-Januari-Februari 50 kWh. Namun karena ada WFH di bulan Maret, konsumsi listrik naik menjadi 70 kWh. Tapi PLN menghitungnya masih berdasarkan rata-rata konsumsi yakni 50 kWh, lebih 20 kWh-nya lagi tidak dihitung di tagihan bulan Maret.
“Karena protokol COVID-19 kita menggunakan rata-rata yang 3 bulan tadi. Jadi real konsumsinya mereka adalah 70 kWh tapi kita mem-billing dengan catatan 50 kWh. Berarti ada 20 kWh yang belum tertagih,” kata Made.
Dengan begitu, 20 kWh-nya itu dimasukkan dalam tagihan bulan April. Ditambah konsumsi listrik di bulan April yang tanpa disadari membengkak karena satu bulan full WFH, katakanlah menjadi 90 kWh. Dalam kata lain pelanggan harus membayar tagihan dengan pemakaian 110 kWh di bulan April.
“Di sana tercatat 90 kWh plus 20 kWh yang carrying over (terbawa) dari bulan Maret. Jadi sudah jelas akan muncul tagihan sebesar 110 kWh seolah-olah konsumsinya naik di situ padahal tidak semua naik di situ, ada kontribusi pengeluaran di bulan Maret,” ujarnya.
PLN menyadari kurangnya sosialisasi di masyarakat sehingga kenaikan ini menyebabkan berbagai polemik. Namun ia membantah tuduhan terkait adanya kenaikan tarif listrik, silang subsidi, hingga manipulasi meteran. “Kami punya dokumentasi yang jelas untuk mematahkan,” imbuhnya.
Sumber: Detik.com
