Kebijakan Perizinan Pemerintah Pusat Dinilai Tidak Pro Rakyat

waktu baca 4 menit

bukabaca.id, Bali – Akselerasi pengembangan Pariwisata khususnya di Propinsi Bali telah mengalami kesenjangan sebagai akibat ketimpangan perizinan dari Pemerintah Pusat terhadap seluruh daerah propinsi, kabupaten dan kota diseluruh Indonesia. Tak terkecuali Bali sebagai daerah destinasi wisata terbesar di Indonesia.

Penilaian ini mengemuka saat Fokus Group Discussion (FGD) yang diprakarsai oleh Tim Riset Kolaborasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Perguruan Tinggi Institut Teknologi dan Bisnis Nobel Makassar (ITB Nobel Makassar) dan Politeknik Sahid Jakarta serta Stakeholder Pariwisata yang berlangsung dieks Balai Arkeologi di Kabupaten Badung Propinsi Bali, Rabu 30 Nopember 2022 siang tadi.

Kepala Bidang Industri Pariwisata pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Badung, Ngakan Tri kepada media mengatakan, Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Badung saat ini mengalami kesulitan dalam melakukan akselerasi perekonomian yang berbasis pariwisata dengan munculnya ketimpangan izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dan izin yang dikeluarkan oleh Pemda dan organisasi adat. 

“Terus terang kami dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan mengakui bahwa saat ini mengalami kesulitan dalam melakukan pengembangan ekonomi pariwisata akibat adanya sistem perizinan yang tidak sesuai dengan kondisi daerah,” papar Ngakan Tri via pesan WhatsApp.

Dikatakannya, terkait Undang-Undang Nomor : 11Tahun 2020 tentang Omnibuslaw yang diikuti dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor : 5 Tahun 2021 tentang Online Single Submission (OSS) atau sistem perizinan berusaha yang terintegrasi secara elektronik dan mengharuskan setiap pelaku usaha untuk melaluinya. 

Artinya, kata Ngakan Tri, dengan peraturan yang njelimet serta bertingkat maka Pemda termasuk Provinsi Bali telah mengalami kesulitan dan bahkan dianggap sangat berbenturan dengan kepentingan masyarakat pada tingkat grassroot.

“Di Bali dengan adanya model perizinan secara online yang mengatur kewenangan pemerintah daerah sangat dibatasi cuma hanya izin usaha yang bereziko rendah. Sedangkan untuk izin usaha menengah dan besar dibidang pariwisata harus ditangani oleh Pemerintah Pusat,” pungkasnya.

“Kadang membuat kami juga merasa kaget dengan adanya suatu lokasi yang masih kosong tiba-tiba sudah mengantongi izin dari Pemerintah Pusat untuk membangun hotel dan atau sejenisnya tanpa kami mengetahui sebagai pejabat yang lebih tahu mengenai kondisi faktual. Disisi lain, ada yang memstinya belum bisa diberi izin oleh Pemerintah Daerah tetapi oleh Pemerintah Pusat sudah memberikan izin,” ungkap Ngakan pada FGD siang tadi di Bali.

Jujur kata dia, gegara peraturan ini pihaknya mengalami kesulitan dan bahkan serba salah dalam mengeluarkan izin atau tidak mengeluarkan izin,” tambahnya lagi.

Ditingkat bawah tambahnya, masyarakat berharap mudah memperoleh izin usaha wisata dan hotel namun pada tingkat Pemerintah Pusat telah mematok melalui regulasi yang kaku dan tidak bijak yang mengakibatkan akselerasi pertumbuhan ekonomi daerah Bali mengalami keterlambatan apalagi masih dalam situasi baru lepas dari Pandemi Covid-19.

Di satu pihak lanjut Ngakan, daerah dituntut untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat akan tetapi disisi lain perizinan untuk usaha reziko tinggi dan menengah diambil alih oleh Pemerintah Pusat yang pajaknya pasti tidak akan masuk ke Kas Daerah (Kasda).

Senada dengan pernyataan Ngakan Tri, wakil dari pengusaha  Hotel Mercure Kabupaten Badung juga ikut mengeluhkan tumpang tindihnya peraturan pusat dan daerah khususnya dibidang izin pariwisata. “Pemerintah Pusat memiliki izin tersendiri melalui pelaksanaan UU Omnibuslaw sementara Pemda mempunyai Perda dan peraturan adat. Akibatnya terjadi benturan kepentingan.” kata dia.

Mestinya lanjut Amanda, Pemerintah Pusat harus berkoordinasi dengan Pemerintah Propinsi Bali khususnya, sebelum mengeluarkan sebuah kebijakan. Sebab jika tidak, maka pelaku usaha hotel akan mengalami degradasi atau kerugian secara moril dan ekonomi. Bahkan tidak menutup kemungkinan hotel-hotel bisa mati suri.

Amanda menambahkan, Pemerintah Pusat idealnya tidak boleh “mematikan” roda usaha hotel didaerah dengan regulasi yang dinilai berbelit-belit dan tumpang tindih sebab akan berdampak pada penambahan beban keuangan bagi pihak pengusaha hotel. 

Sementara itu, Marhanani selaku Ketua Tim Riset pada FGD mengucapkan terima kasih yang tak terhingga serta respon positif para stakeholder beserta seluruh yang hadir dalam diskusi ini.

“Saya selaku Ketua Tim menyampaikan rasa terima kasih kepada Pemda Kabupaten Badung, para pelaku usaha hotel, media massa dan tokoh masyarakat dalam menyukseskan diskusi sekaitan dengan penguatan riset kami,” ungkapnya.

Menurutnya, riset ini merupakan kolaborasi periset dari BRIN bersama ITB Nobel Makassar Sulsel dan Politeknik Sahid Jakarta. FGD ini sangat positif dan berkualitas sebab melalui kegiatan diskusi ini akan mendapatkan informasi terbaru termasuk nilai budaya Bali yang disebut Tri Hita Karana dan Takubali. Olehnya itu, dengan demikian maka kami telah mendapatkan informasi mengenai problem pariwisata berkelanjutan di Bali sehingga nantinya akan sejalan dan representatif dengan tuntutan output riset yang berstandar Pentahelix,” pungkasnya. (Mds)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *