RUU KUHP Resmi Disahkan Menjadi Undang-Undang, Yasonna H Laoly: Momen Bersejarah

waktu baca 4 menit

bukabaca, Jakarta – Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) resmi disahkan menjadi Undang-Undang.

Pengesahan dilakukan dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dengan agenda Pengambilan Keputusan atas RUU KUHP pada Selasa, 06 Desember 2022 kemarin di Jakarta.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Yasonna H Laoly menyatakan,” Pengesahan ini merupakan momen bersejarah dalam penyelenggaraan hukum pidana di Indinesia. Setelah bertahun-tahun menggunakan KUHP Produk Belanda, kini Indonesia sudah memiliki KUHP sendiri.

“Bangsa Indonesia patut berbangga sebab sudah mempunyai dan berhasil memiliki KUHP sendiri dan bukan lagi buatan negara lain. Jika dihitung dari awal berlakunya KUHP Belanda di Indonesia pada tahun 1918, berarti sudah 104 tahun hingga pengesahan hari ini. Indonesia sendiri telah merumuskan pembaruan hukum pidana sejak tahun 1963,” papar Yasonna usai rapat paripurna DPR RI kemarin.

Bahkan menurut Menteri Hukum dan HAM RI ini, produk hukum buatan Belanda ini, dirasakan sudah tak relevan lagi dengan kondisi dan kebutuhan hukum pidana di Indonesia. Ini yang menjadi salah satu urgensi pengesahan RUU KUHP.

“Produk Belanda tidak relevan lagi dengan Indonesia. Sementara RUU KUHP sudah sangat reformatif, progresif dan juga responsip dengan situasi di Indonesia,” ungkapnya.

“KUHP yang baru saja disahkan telah melalui pembahasan secara transparan, teliti dan partisipatif. Pemerintah dan DPR RI telah mengakomodasi berbagai masukan dan gagasan dari publik. RUU KUHP sudah disosialisasikan ke seluruh pemangku kepentingan di seluruh penjuru Indonesia. Pemerintah dan DPR mengucapkan terima kasih kepada maayarakat atas partisipasinya dalam momen yang dinilai sangat bersejarah ini.” ujarnya.

Meskipun begitu, Yasonna mengakui jika perjalanan penyusunan RUU KUHP tidak selalu mulus. Pemerintah dan DPR sempat dihadapkan dengan pasal-pasal yang dianggap kontroversial. Diantaranya pasal penghinaan Presiden, pidana kumpul kebo, pidana santet, vandalisme, hingga penyebaran ajaran komunis. Akan tetapi Yasonna meyakinkan masyarakat bahwa pasal-pasal dimaksud telah melalui kajian berulang secara mendalam.

Karena itu, kata Yasonna, pasal-pasal yang dianggap kontroversial dapat memicu ketidakpuasan golongan-golongan masyarakat tertentu.

Olehnya itu, dia mengimbau khususnya pihak-pihak yang tidak setuju atau protes terhadap RUU KUHP dapat menyampaikan melalui mekanisme yang benar. Masyarakat diperbolehkan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Rancangan Undang-Undang KUHP tidak mungkin disetujui 100 persen. Sehingga jika ada yang tidak setuju maka dipersilahkan untuk melayangkan gugatan ke MK,” pintanya.

Perluasan jenis pidana kepada pelaku tindak pidana selanjutnya, Menteri Yasonna menjekaskan, pengesahan RUU KUHP tidak sekedar menjadi momen historis karena Indonesia memiliki KUHP sendiri. Namun RUU KUHP menjadi titik awal reformasi penyelenggaraan pidana di Indonesia melalui perluasan jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana.

“Terdapat tiga pidana yang diatur, yakni pidana pokok, pidana tambahan dan pidana yang bersifat khusus. Dalam pidana pokok, RUU KUHP tidak hanya mengatur pidana penjara dan denda saja akan tatapi menambahkan pidana penutupan, pidana pengawasan serta pidana kerja sosial,” tambahnya.

Yassona mengatakan, perbedaan mendasar adalah RUU KUHP tidak lagi menempatkan pidana mati sebagai pidana pokok melainkan pidana khusus yang selalu diancamkan secara alternatif dan dijatuhkan dengan masa percobaan sepuluh tahun.     

Selain pidana mati, lanjut dia, pidana penjara juga direformasi dengan mengatur pedoman yang berisikan keadaan tertentu agar sedapat mungkin tidak dijatuhkan pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana. Misalnya jika keadaan-keadaan antara lain, jika terdakwa adalah anak, berusia 75 tahun, baru pertama kali melakukan tindak pidana serta beberapa keadaan lainnya.

Meskipun demikian, lanjut Yassona, maka diatur pula ketentuan mengenai pengecualian keadaan-keadaan tertentu itu. Yaitu terhadap pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, tindak pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus atau tindak pidana yang merugikan masyarakat serta merugikan perekonomian negara.

Selanjutnya, pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu, perampasan barang, pengumuman purusan hakim, pembayaran ganti rugi, pencabutan izin dan pemenuhan kewajiban adat setempat. Pelaku tindak pidana dapat pula dijatuhi tindakan yaitu perwujudan nyata dari diterapkannya double track system dalam pemidaan Indonesia.

Misalnya, RUU KUHP mengatur beberapa tindakan yang dapat dijaruhkan bersama pidana pokok dan tindakan yang dapat dikenakan kepada orang dengan disabilitas mental atau intelektual. Dan terakhir perumus RUU KUHP mengatur badan hukum atau korporasi sebagai pihak yang dapat bertanggungjawab dan dipidana.

Penjatuhan pidana pokok, pidana tambahan dan tindakan dikenakan kepada korporasi dan orang-orang yang terlibat dalam korporasi itu, baik pengurus yang memiliki kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali sampai kepada pemilik manfaat.

Terkait pengesahan ini, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kakanwil Kemenkumham) Propinsi Sulawesi Selatan, Liberti Sitinjak bersama jajaran menyatakan mendukung RUU KUHP menjadi UU.

“Semoga dapat memberikan kesejahteraan dan payung hukum yang pro terhadap kepentingan masyarakat,” tandasnya. (M. Daeng Siudjung Nyulle)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *